Rabu, 14 April 2010

ijma ulama tentang kufurnya orang yang menentang hukum al-quran


1. Al-Hafiz Ibnu Katsir.

Ketika menafsirkan firman Allah,...

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Ma’idah [5]: 50)

Ibnu Katsir mengulas, “Allah mengherdik orang yang keluar dari hukum Allah dan beralih kepada pendapat, ego dan istilah yang dibuat manusia, sebagaimana kesesatan dan kebodohan yang dijadikan bangsa jahiliyah dalam menetapkan hukum, sebagaimana politik kerajaan bangsa Tartar yang diambil dari raja mereka, Genghis Khan yang membuat Yasiq, iaitu undang-undang yang dikumpulkan dari berbagai sumber hukum dan pandangannya sendiri, lalu ia menjadi aturan yang diikuti oleh bangsa Tartar. Barangsiapa yang mengikuti hukum tersebut, maka ia kafir dan wajib diperangi sampai ia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.

Dalam kitab al-Bidayah wan-Nihayah (13/119), Ibnu Katsir juga mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan syari‘at yang muhkam (tegas dan tidak mengandung takwil) yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah Penutup para Nabi SAW, lalu mengikuti hukum syari‘at yang telah dihapus, maka ia telah kufur. Lalu, bagaimana dengan orang yang mengikuti hukum Yasiq dan lebih mengutamakannya daripada hukum Allah? Barangsiapa yang berbuat demokrasi, maka ia telah kufur berdasarkan ijma’ umat Islam.”

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Fatawa (3/267) mengatakan, “Ketika seseorang menghalalkan sesuatu yang disepakati haram, atau mengharamkan sesuatu yang disepakati halal, menggantikan syari‘at yang telah disepakati, maka ia kafir dan murtad menurut kesepakatan para ulama fikih.”

3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Mantan Mufti Saudi.

Dalam risalah Tahkim al-Qawanin Syaikh Muhammad berkata, “Di antara bentuk kufur yang paling besar adalah menempatkan undang-undang yang terlaknat menggantikan apa yang diturunkan malaikat Jibril pada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan hukum yang berlaku di antara manusia. Hal itu sesuai firman Allah,

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’ [4]: 59)

4. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz.

Ia berkata, “Seruan nasionalisme Arab dan persatuan di bawah panjinya mengakibatkan masyarakat menolak hukum al-Qur’an, kerana orang-orang nasionalis non-muslim tidak akan rela mengikuti hukum al-Qur’an, sehingga hal itu mengharuskan para pemimpin nasionalis untuk mengambil hukum positif yang bertentangan dengan hukum al-Qur’an, agar semua masyarakat memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum-hukum tersebut. Banyak dari mereka yang meneriakkan hal ini sebagaimana telah dijelaskan. Ini merupakan kerosakan besar, kekafiran yang nyata dan kemurtadan yang jelas, sebagaimana firman Allah,

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah [5]: 44)

Setiap orang yang tidak memutuskan menurut syari‘at Allah dan tidak tunduk terhadap hukum Allah, maka dia orang yang jahil, kafir, zalim lagi fasiq berdasarkan nas ayat-ayat yang muhkam ini.

Abdul ‘Aziz bin Baz juga mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang menyerukan nasionalisme atau sosialisme atau fahaman-fahaman destruktif lain yang berlawanan dengan hukum Islam itu kafir dan sesat, lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani. Mereka itu adalah orang-orang atheis yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Tidak satu pun di antara mereka yang boleh menjadi khathib atau imam di suatu masjid milik umat Islam, dan tidak sah solat di belakang mereka. Setiap orang yang membantu kesesatan mereka, menganggap baik apa yang mereka dakwakan, serta mencaci dan mencemuh pada da'ie yang menyerukan Islam itu juga kafir lagi sesat.

5. Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi.

Dalam kitab al-Islam wal-‘Ilmaniyyah mengatakan, “Seorang sekular yang menolak penerapan syari‘at dari awal itu tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam kecuali nama saja. Ia telah murtad dari Islam secara pasti, dan wajib diminta untuk bertaubat, dijauhkan dari syubhat dan diajukan protes kepadanya. Kalau dia tidak bertaubat, maka mahkamah perlu memutuskannya murtad dan melucut statusnya sebagai muslim, dipisahkan dari isteri dan anak-anaknya, dan berlaku padanya hukum orang-orang murtad, baik semasa hidup atau sesudah mati.”

Sebahagian sarjana, atau orang yang telah menjual agama mereka dengan duniawi, mengatakan bahawa memutuskan perkara tidak berdasarkan wahyu Allah asalkan tidak menghalalkan sesuatu yang haram itu termasuk dosa dan maksiat yang tidak mengeluarkannya dari Islam.

Dr. Abdurrahman bin Shalih al-Mahmud, Pengetua Fakulti Ushuluddin, Riyadh, di dalam buku yang berjudul al-Hukmu bi Ghairi ma Anzalallah. Ia menulis, “Para ulama menyepakati kekafiran orang yang memutuskan perkara tidak dengan apa yang diturunkan Allah meskipun ia tidak menghalalkannya, sebagaimana yang dikemukakan banyak ulama. Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim. Umat Islam tidak mengenal adanya perubahan atas syari‘at dan keputusan berdasarkan hukum positif sebelum kedatangan Tartar dengan membawa hukum mereka yang bernama Yasiq. Kemudian datanglah era modern ketika bangsa Nasrani dan selainnya menyerang umat Islam. Di antara peninggalan mereka yang paling besar adalah hukum positif ini.

6. Ibnul Qayyim.

Disebutkan dalam al-Qur’an dan ijma’ yang sahih bahawa agama Islam menghapuskan setiap agama sebelumnya, dan bahwa barangsiapa yang mengikuti ajaran Taurat dan Injil dan tidak mengikuti al-Qur’an maka hukumnya kafir.” (Ahkam Ahlidz-Dzimmah, 1/259) Jika demikian, maka apatahlagi dengan mengikuti hukum positif.

Inilah kesepakatan yang dituturkan ulama mengenai kufurnya orang yang mengikuti hukum selain syari‘at Islam. Undang-undang kontemporari itu bukan syari‘at yang dihapus al-Qur’an, melainkan lebih menyerupai Yasiq milik bangsa Tartar yang terhimpun dari syari‘at-syari‘at yang ada dalam agama Yahudi, Nasrani dan Islam.

Muhammad bin Hamid al-Hasani dalam bukunya ath-Thariq ilal-Khilafah menjelaskan syarat-syarat untuk tidak menghukumi kafir orang yang memutuskan perkara tidak menurut wahyu Allah. Ia mengatakan,

1. Ia mengaku dan menerima secara lahir dan batin setiap hal yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
2. Ia mengakui bahwa dengan tidak memutuskan perkara sesuai dengan wahyu Allah dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya itu bererti ia berdosa, dan bahawa keputusannya tersebut keliru, dan keputusan Allah sahajalah yang benar.

Apabila ia berkata dengan bahasa verbal bahawa:
» Keputusannya lebih baik daripada keputusan Allah dan Rasul-Nya,
» Atau bahawa keputusannya sama dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya,
» Atau bahawa keputusan Allah dan Rasul-Nya itu lebih sesuai untuk masa lalu,
» Atau bahawa apa yang diputuskannya itu lebih tepat dan lebih baik untuk masa kini,
» Atau bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu lebih tepat dan lebih sesuai untuk setiap tempat dan waktu tetapi ia boleh memutuskan dengan apa yang dilihatkannya sesuai meskipun bertentangan dengan hukum Allah,
Seandainya ia mengatakan ini semua atau sebahagiannya atau salah satu darinya, maka ia telah menjadi kafir murtad.

3. Keputusan yang tidak menurut wahyu Allah itu berkaitan dengan kes kes khusus dan tertentu, bukan dalam perkara-perkara universal dan umum. Seperti contoh, seorang pencuri dihadapkan kepada hakim yang merupakan kerabat kepada pencuri. Sebenarnya hakim tersebut mengakui bahwa hukuman pencuri adalah potong tangan, tetapi ia membela kerabatnya dan menjatuhinya hukuman selain potong tangan. Lalu hakim tersebut ketika dihadapkan kes pencurian lain dimana pelakunya bukan kerabatnya, maka ia akan menjatuhkan hukuman potong tangan. Hakim dengan perbuatannya seperti ini disebut kafir di bawah kafir, dengan beberapa syarat